Tuesday, April 19, 2011

Manusia agung Rasulullah SAW 
amat mencintai dan merindui
orang-orang miskin
kerana bagindalah dilahirkan dan diasuh
dalam keadaan miskin
dari Penulis
"Orang-orang miskin dari golongan mukmin akan masuk surga lebih dahulu, sebelum orang-orang kaya dari mereka, dengan tenggang waktu setengah hari, sama dengan lima ratus tahun" (Sunnan Ibn Majah: 4122).  
  
Rasulullah SAW sangat mencintai orang-orang miskin, dan selalu berwasiat kepada sahabat-sahabatnya untuk senantiasa mencintai mereka yang sengsara secara ekonomi. Abu Dzar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. berswasiat kepadanya tujuh perkara tidak boleh ia meninggalkannya, diantaranya: mencintai orang miskin dan selalu mendekati mereka (Majamauzzawaid: vol.10, h.263). Ibn Majah dalam kumpulan haditsnya menyebutkan bab khusus mengenai keutamaan orang-orang miskin: Bab fadlul faqr (keutamaan kefakiran), Bab manzilatul fuqara' (derajat orang-orang miskin), dan Bab Mujalasatul fuqara (bergaul dengan orang-orang miskin). Diantara hadits yang disebutkan: Rasulullah SAW. bersabda:
"Orang-orang miskin dari golongan mukmin akan masuk surga lebih dahulu, sebelum orang-orang kaya dari mereka, dengan tenggang waktu setengah hari, sama dengan lima ratus tahun" (Sunnan Ibn Majah: 4122).     
Ibn Umar meriwayatkan: suatu hari kaum muhajirin dari sahabat-sahabat Rasulullah yang miskin menceritakan enaknya sahabat-sahabat mereka yang kaya, di mana mereka punya kesempatan berbuat pahala lebih banyak dengan hartanya. Rasulullah SAW langsung bersabda: "Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun". Bukankah Allah berfirman: Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. 22:47). (Ibid: 4124).
Kehidupan Rasulullah sendiri mencerminkan kesederhanaan. Diantara doa-doanya: "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin" (Ibid: 4126). Istrinya Siti Aishah ra. menceritakan bahwa pernah selama satu bulan di rumahnya tidak pernah mengepul asap. Ketika ditanya ia menjawab: kami hanya minum air dan makan kurma. (Ibid: 4145). Kapada sahabat-sahabatnya Rasulullah SAW. selalu menceritakan bahwa diri dan keluarganya tidak pernah mempunyai harta sampai satu sha (3751 gram) biji-bijian atau kurma. Dalam riwayat lain disebutkan: hanya mempunyai satu mud (938 gram) makanan (Ibid: 4147-8).
Bila ternyata mencintai orang-orang msikin bukan semata kewajiban kemanusiaan melainkan lebih dari itu adalah bukti keimanan, mengapa kita masih sering menyaksikan seorang bayi ditahan di rumah sakit karena orang tuanya tidak mampu membayar biaya, seorang ibu sambil merangkul anak bayinya ditolak dari pintu ke pintu rumah sakit karena tidak punya biaya, dan seorang bayi terpaksa akhirnya harus menghembuskan nyawa karena tidak ada rumah sakit yang menerimanya . Di manakah keimanan kita selama ini? Pantaskah kita dengan kenyataan ini menyebut diri orang-orang mukmin? Wallahu alam.

Tujuh Wasiat Rasulullah

Dari Abu Dzar ia berkata; "Kekasi­hku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh perkara:
(1) supaya aku mencintai orang­ orang miskin dan dekat dengan mereka,
(2) baginda memerintahku agar aku me­lihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku,
(3) baginda memerintah­kan agar aku menyambung silaturahim dengan kaum kerabat sekalipun mereka berlaku kasar kepadaku,
(4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La hauls walaa quwwata ilia billah,
(5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,
(6) bag­inda berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah,
(7) baginda melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia lain" (Riwayat Ahmed).
Meski wasiat ini disampaikan kepada Abu Dzar  r.a, namun hakikatnya untuk umat Islam secara umum. 
Wasiat pertama, mencintai orang miskin.
Islam menganjurkan umatnya agar berlaku tawaduk (merendah hari) terhadap orang-orang miskin, menolong dan membantu kesukaran mereka. Demikianlah yang dicontohkan para sahabat di anta­ranya Umar bin Khathab Radhiallahu anhu (r.a) yang terkenal sangat dekat dengan rakyat, Khalifah Abu Ba­ker yang terkenal dengan sedekah "yang dipikulnya" sendiri, Utsman bin Affan dengan semangat kedermawanannya.
Cintailah dan kasihanilah orang-orang miskin, se­bab hidup mereka tidak cukup, diabaikan masyarakat dan tidak diperhatikan. Orang yang mencintai fuqara' dan masakin dari umat Islam, terutama mereka yang mengerjakan sembahyang, dan taat kepada Allah, ma­ka mereka akan dibela Allah SWT di dunia dan pada hari kiamat.
Sebagaimana sabda Rasulullah, "Barang sia­pa yang menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang Muslim, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Dan barang siapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan memudahkan baginya di dunia dan akhirat" (Ri­wayat Muslim).
Juga sabda baginda, "Orang yang membiayai ke­hidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang jihad fisabilillah" (Riwayat Bukhari).
Dalam riwayat lain seperti mendapatkan pahala sem­bahyang dan puasa secara terus menerus....
Wasiat kedua, melihat orang yang lehih rendah kedudukannya dalam hal harta dunia.
Rasulullah memerintahkan agar kita melihat orang-orang yang berada di bawah kita dalam harta dunia dan pendapatan. Tujuannya, tiada lain agar kita selalu bersyukur dengan nikmat Allah yang ada. sela­lu qona'ah (merasa cukup dengan apa yang Allah kurniakan kepada kita), tidak serakah, tidak pula iri dengki dengan kenikmatan orang lain.
Penyakit manusia selalu melihat ke atas dalam hal harta, kedudukan, dan jawatan. Selagi manusia hidup ia akan selalu berasa kurang dan kurang. Baru berasa cukup manakala jasadnya masuk dalam kuhur.
"Lihatlah kepada orang yang berada di hawahmu dan janganlab melihat orang yang ada di atasmu, kera­na hat demikian lebih patut agar kalian tidak meman­dang ringan nikmat Allah yang telah diberikan kepad­amu:'(Riwaat Muttafaqun'alaibi).
Sebaliknya dalam masalah agama, ibadah dan ket­akwaan, seharusnya kita melihat orang-orang yang di atas kita, iaitu para Nabi, sahabat, orang-orang yang ju­jur, para syuhada', para ulama dan salafussoleh.
Wasiat ketiga, menyambung silaturahim kepada kaum kerabat.
Silaturahim adalah ungkapan mengenai berbuat baik kepada kaum kerabat kerana hubungan nasab (keturunan) atau kerana perkahwinan. Iaitu silatura­him kepada orang tua, kakak, adik, bapa saudara, anak saudara yang masih mempunyai hubungan kekeluar­gaan. Berbuat baiklah dan lemah lembut kepada mere­ka, menyayangi, memperhatikan dan membantu mer­eka.
Dengan silaturahim, Allah memberikan banyak manfaat. Di antaranya, menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dengannya akan menumbuhkan sikap saling membantu dan mengetahui keadaan masing­ masing. Silaturahim pula akan memberikan kelapan­gan rezeki dan umur yang panjang. Sebaliknya bagi yang mengabaikan silaturahim, Allah sempitkan har­tanya dan tidak memberikan berkat pada umurnya, bahkan Allah tidak memasukkannya ke dalam syurga.
Rasulullah bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyam­bung silaturahim" (Riwayat Bukhari).       
 
Wasiat keempat, memperbanyakkan ucapan 'La haula walaa quwwata illa bill-ah'
Rasulullah memerintahkan memperbanyak uca­pan 'La haula walaa quwwata illa bill-ah' agar kita berlepas.diri dari berasa tidak mampu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Makna kalimat ini juga seb­agai sikap tawakal, hanya kepada Allah kita menyem­bah dan hanya kepada-Nya pula kita memohon perto­longan.
Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya upaya apa pun kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak mampu duduk di majlis ilmu melainkan dengan pertolongan Allah. Demikian juga seorang guru tidak mungkin mengajarkan ilmu. yang bermanfaat kepada muridnya melainkan dengan pertolongan Allah.
Nabi bersabda: "Ya Abdullah bin Qois, mahukah aku tunjukkah kepadamu atas perbendaharaan dari perbendaharaan syurga? (iaitu) 'La haula walaa, quw­wata illa billah' (Riwayat Muttafaqun'Alaih).
Wasiat kelima, berani mengatakan kebenaran meskipun pahit.
Ramai, yang bersikap 'asal tuan suka' sehing­ga sanggup menjilat demi mendapat simpati dengan mengorbankan kebenaran dan kejujuran. Seharusnya, apabila sesuatu itu sudah jelas sebagai sesuatu yang haram, bidaah, mungkar, batil, dan syirik, maka jangan sampai kita takut menerangkannya.
Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat kebenaran (haq) kepada pengua­sa yang zalim. Bukan dengan cara membuka aib mer­eka di mimbar mimbar, tidak dengan aksi pidato yang kasar,.demonstrasi, dan provokasi.
"Barang siapa yang ingin menasibad pemimpin, janganlah.ia tampakkan dengan terang-terangan. Hen­daklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mahu mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan apabila penguasa itu eng­gan, maka ia sungguh telah melaksanakan kewajipan dan amanah yang dipikulkan kepadanya (Riwayat Ah­mad)
Wasiat keenam, tidak takut celaan ketika berdakwah.
Betapa berat risiko dakwah yang Rasulullah dan sa­habat alami. Mereka harus menderita kerana mendapat celaan, ejekan, fitnah, boikot. Juga pengejaran, lemparan kotoran, dimusuhi, ditekan, dan dibunuh.
Manusia yang sakit  hatinya kadang-kadang tidak mahu menerima dengan penjelasan dakwah, maka pa­ra pendakwah harus sabar menyampaikan dengan ilmu dan hikmah. Jika pendakwah menghadapi penolakan dan cercaan, jangan sampai patah semangat. Maka pa­ra penyeru tauhid, penyeru kebenaran jangan berhenti apabila hanya berdepan dengan cercaan.
"(Iaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah ­risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak ber­asa takut dengan siapa pun selain Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan" (Al-Ahzab [331: 39).
Wasiat ketujuh, tidak suka meminta-minta sesuatu kepada orang lain.
Orang yang dicintai Allah, Rasul dan manusia,, adalah mereka yang tidak, meminta minta. Seorang Muslim perlu berusaha makan dari hasil jerih payah tangannya sendiri. Seorang Muslim harus  berusaha memenuhi hajat  hidupnya sendiri dan tidak boleh se­lalu mengharapkan belas kasihan orang.
"sungguh, seseorang dari kalian mengambil ta­li, lalu membawa seikat kayu bakar di belakangnya, kemudain ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada. meminta-minta kepada manusia. Mereka boleh memberi atau tidak memberi" (Riwayat,Bukharl).
Menyayangi dan memelihara anak yatim adalah kewajipan sosial setiap Muslim. Namun, sayang sekali ramai di kalangan kita yang tidak mengendahkannya. Akibatnya timbul berbagai masalah sosial di dalam masyarakat kerana empat sebab iaitu:
'tidak memuliakan anak yatim, tidak memberi makan fakir miskin, memakan warisan alam dengan tamak haloba serta mencintai harta benda secara berlebih-lebihan' (QS Al-Fajr: 15 ~ 20).
Ketika ini, kita sering terpukau oleh kemewahan dunia tatkala golongan fakir miskin menangis menunggu pembelaan yang sepatutnya daripada kalangan pemimpin yang prihatin kepada rakyat bawahan, bukannya pemimpin elit yang memperjuangkan golongan yang setaraf dengan mereka sahaja. Pemimpin untuk umat Islam ialah mereka yang memilih hidup sederhana, berteladankan cara hidup Rasulullah SAW kerana tahu bahawa sebahagian umat Islam yang lain masih hidup dalam serba kekurangan. Demikian juga dengan gerakan kebangkitan Islam seharusnya tidak hanya mengindahkan masjid, tetapi juga melepaskan belenggu mereka yang miskin, teraniaya, dianiayai atau yang tertindas oleh beban hutang. Rasulullah SAW bersabda:
"Bila masyarakat sudah membenci orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia serta rakus dalam mengumpulkan harta, maka mereka akan ditimpa empat bencana iaitu zaman yang berat, pemimpin yang zalim, penegak hukum yang khianat dam musuh yang mengancam."
Daripada hadis itu, kita dapat pelajari bahawa munculnya masalah atau kesulitan ekonomi, kemunculan ramai pemimpin zalim, berlakunya pengkhianatan oleh penegak hukum adalah disebabkan oleh pengabaian terhadap nasib fakir miskin dan kegilaan mengumpul kekayaan seolah-olah saat kematian tidak akan datang. "Dan nafkahkanlah sebahagian daripada hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya" (QS Al-Hadid: 7).
Kemiskinan yang berlaku dalam masyarakat kita adalah tanggungjawab kita bersama. "Menolong dan membela yang lemah, mustadh'afin, adalah tanda-tanda orang yang bertakwa" (QS Al-Baqarah: 197).
Inilah yang dikatakan golongan pendusta agama, mengabaikan nasib mustadh'afin, acuh tidak acuh terhadap mereka, enggan memberi pertolongan dan solat mereka pula membawa kecelakaan yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka Saqar, nauzubillah. Manusia yang tidak peka terhadap masalah anak yatim serta fakir miskin atau melalaikan solat serta riya', disebut oleh Allah SWT sebagai pendusta agama. Hal ini dijelaskan di dalam Surah Al-Maa'uun. Nama Al-Maa'uun diambil daripada kata al-maa'uun yang terdapat pada ayat terakhir surah ini yang bererti "barang-barang yang berguna." Surah ini juga disebut Surah At-Takzib yang bererti pendustaan kerana di dalamnya dinyatakan sikap orang-orang yang mendustakan agama.
Bagi manusia yang mempunyai sifat-sifat seperti dalam Surah Al-Maa'uun, Allah SWT menjanjikan pembalasan dan seksaan neraka. Mereka digambarkan dalam surah itu sebagai orang-orang yang tidak peka terhadap tanggungjawab sosial dalam masyarakat. Mereka tidak mahu mengeluarkan walau sedikitpun harta untuk membantu sesama manusia. Dalam hati mereka tidak ada rasa belas kasihan untuk membantu memenuhi keperluan sosial. Itulah yang dimaksudkan dengan orang-orang yang "menolak memberi bantuan" pada akhir surah ini. Surah Al-Maa'uun memaparkan sikap manusia dalam kehidupan sosial yang dikategorikan sebagai pendusta agama. Mereka memiliki kebiasaan mengherdik anak yatim dan tidak memberi makanan kepada fakir miskin. Sikap itu menunjukkan sikap takabbur dalam diri sendiri. Mereka menganggap anak yatim serta fakir miskin sebagai golongan yang rendah dan hina yang menjadi bebanan kepada masyarakat.
Surah itu memperlihatkan sikap manusia dalam beribadah sebagai pendusta agama. Mereka melalaikan solat, melaksanakannya tanpa keikhlasan serta tidak khusyuk. Solat mereka tidak lebih daripada ucapan lisan serta gerakan badan yang telah terbentuk sedemikian rupa tanpa penghayatan makna serta hikmah setiap ucapan dan gerakan yang mereka lakukan. Dalam Surah Al-Maa'uun juga disebutkan bahawa orang yang berbuat riya' akan dibalas oleh Allah SWT. Riya' ialah melakukan suatu amal perbuatan untuk mencari pujian yang ia anggap ibadah itu. Allah SWT sendiri mengancam mereka yang berbuat riya' dengan seksaan yang berat di neraka, nauzubillah. Manusia yang digambarkan dalam Surah Al-Maa'uun tidak menempatkan solat sebagai saranan untuk berkomunikasi dengan Tuhan, melainkan hanya sebagai perbuatan rutin dalam kehidupan seharian mereka. Ingatlah antara misi terpenting Islam seperti yang dinyatakan dalam al-Quran ialah membela, menyelamatkan, membebaskan, melindungi dan memuliakan kelompok dhu'afa atau mustadh'afin (yang lemah atau yang dilemahkan, yang menderita atau yang dizalimi). Dalam sebuah hadis Qudsi diriwayatkan, Allah SWT hanya menerima solat daripada orang yang "menyayangi orang miskin, ibnu sabil, wanita yang ditinggalkan suami dan yang menyayangi orang yang mendapat musibah.
"Ketika Nabi Musa AS bertanya kepada Allah SWT: "Tuhanku, di mana aku harus mencariMu?" Allah SWT menjawab: "Carilah Aku di tengah-tengah mereka yang hancur hatinya."

No comments:

Post a Comment